![]() |
Foto: Pinterest |
Kota Bandung telah
mengalami transformasi multidimensional dari masa kolonial hingga era kontemporer,
membentuk identitas unik sebagai kota metropolitan yang kreatif. Dimulai dari garden
city Belanda pada abad ke-19 dengan rancangan tata ruang yang memiliki gaya
Eropa, kemudian kota ini memasuki fase kritis pasca-peristiwa Bandung Lautan
Api pada tahun 1946 yang menjadi faktor utama relokasi pusat aktivitas ke utara
dan pembangunan ikon nasional seperti Gedung Sate.
Periode industrialisasi
tahun 1970-1990an mengubah wajah kota melalui ekspansi Kawasan tekstil di
Dayeuhkolot dan Rancaekek, dibarengi dengan urbanisasi massif yang menimbulkan
tekanan ekologis pada lingkungan sekitar. Fase mutakhir (tahun 2000an-sekarang)
menandai kebangkitan ekonomi kreatif berbasis fashion, teknologi, dan
gastronomi, serta revitalisasi ruang kolonial seperti Kawasan Braga menjadi
pusat inovasi.
PERJALANAN SEJARAH KOTA
BANDUNG
Wiryomartono (dalam
Ratih, 2021: 48) berpendapat bahwa berdirinya kota-kota di
Indonesia tidak dapat dilepaskan dari proses terbentuknya permukiman-permukiman
awal di berbagai tempat. Kemudian, melalui berbagai dorongan eksternal
permukiman-permukiman ini ada yang menjadi kota. Sebagian besar kota-kota yang
ada di Indonesia muncul berdasarkan faktor yang berasal dari luar (ekstern),
khususnya pada era kolonialisme dan imperialisme (Ratih,
2021: 48).
Pada Dasarnya kota
merupakan suatu wadah dari bermacam-macam aspek kehidupan yang sangat
kompleks.Teori mengenai kota secara terus-menerus muncul dibarengi dengan
perhatian mengenai hal-hal yang ikut bergerak bersamaan dengan perkembanga kota
tersebut. Bergel (dalam
Ratih, 2021: 48) menyebutkan beberapa istilah yang
berkaitan dengan perkembangan sebuah desa menjadi kota, yang diantaranya: Village
(desa), Town (kota kecil), City (kota), dan Metropolis
(kota yang hidup).
Bermula dari pemerintahan
kolonial Hindia-Belanda, melalui Gubernur Jenderalnya pada waktu itu Herman
Willem Daendles, mengeluarkan surat keputusan pada tanggal 25 September 1810
tentang pendirian dan peresmian dari Kota Bandung sebagai Ibukota Kabupaten
Bandung pengganti dari Krapyak, yang kemudian peristiwa ini diabadikan sebagai
hari jadi Kota Bandung (Nurcahya,
et al., 2025: 56).
Pada sekitar akhir tahun
1808/pada awal tahun 1809, Bupati bersama sejumlah rakyatnya pindah dari
Krapyak dan mendekati lahan yang akan menjadi ibukota baru. Pada awalnya Bupati
tinggal di daerah Cikalintu (daerah Cipaganti), kemudian pindah ke Balubur
Hilir, yang selanjutnya pindah lagi ke Kampung Bogor (Kebun Kawung, pada lahan
Gedung Pakuan sekarang) (Nurcahya
et al., 2025: 57). Kota Bandung tidak muncul bersamaan
dengan pembentukan dari Kabupaten Bandung. Kota ini dibangun dengan tenggang
waktu yang dapat dikatakan sangat jauh setelah berdirinya Kabupaten Bandung. Pembentukan
Kabupaten Bandung bermula sekitar pertengahan abad ke-17 Masehi, dengan
dipimpin Bupati pertamanya Tumenggung Wirangunan (Nurcahya,
et al., 2025: 56).
Hardjasaputra (2002) (dalam
Ratih, 2021: 55) menjelaskan jumlah penduduk yang ideal
dengan tata kota yang diharapkan pada masa kolonial dirancang untuk kepentingan
dari kolonial itu sendiri, bukan untuk kepentingan secara umum. Memasuki awal
abad ke-20, Kota Bandung berkembang dengan jumlah penduduk yang semakin
meningkat bersamaan datangnya orang-orang Eropa. Perubahan Kota Bandung dimulai
ketika Herman Willem Daendels merencanakan pembangunan jalan raya pos yang
berada di sepanjang Pulau Jawa. Tujuan dari pembangunan jalan tersebut adalah
kelancaran hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah melalui surat
(hubungan pos), karena itu jalan ini disebut dengan nama Grote Postweg atau
jalan raya pos.
Voskuil (2017) (dalam
Nurcahya, et al., 2025: 61) disebutkan pada periode tahun
1910-1940 Kota Bandung mengalami perkembangan yang pesat. Rencana pemerintahan
Belanda untuk memindahkan ibu kota Hindia-Belanda dari Batavia ke Bandung
mempengaruhi perencanaan Kota Bandung termasuk juga penyediaan prasarana
penunjang yang didesain dengan modern pada zaman tersebut, yaitu Art Deco.
Sejarah arsitektur di
Bandung meliputi beberapa gaya utama yang dipengaruhi oleh kolonial Belanda dan
diadaptasi terhadap iklim tropis. Ciri khas Bandung adalah arsitektur kolonial
yang didominasi oleh gaya Modernis, dengan gdung-gedung pemerintahan dan kantor
yang menonjol. Arsitektur Indische turut hadir, menciptakan perpaduan gaya
Eropa dan lokal. Di sisi lain, terdapat pula pengaruh dari Art Deco,
yang sekarang dapat dilihat pada bangunan seperti Gedung Sate (Nurcahya,
et al., 2025: 62-63).
FAKTOR PENDUKUNG DAN
KELEMAHAN KOTA BANDUNG
Menurut Salsabila, dkk. (2023)
beberapa faktor pendukung yang dapat mempengaruhi perkembangan kota
diantaranya:
1.
Infrastruktur yang mendukung
Kota
bandung memiliki infrasturktur yang mendukung perkembangan sektor ekonomi kreatif.
Keberadaan pusat desain dan ruang kreatif dapat menciptakan lingkungan yang
kondusif pada pelaku ekonomi kreatif untuk berkembang dan berkolaborasi.
2.
Potensi sumber data alam
Potensi
sumber daya alam Kabupaten Bandung dapat digunakan untuk bahan baku dalam
industri kreatif. Bentuk sumber daya alam seperti tanah, tumbuhan, dan mineral
dapat menjadi dasar untuk mengembangkan produk dan kreasi kreatif.
3.
Kreativitas dan Inovasi yang tinggi
Kreativitas
yang tinggi di Kota Bandung menjadi salah satu kekuatan yang utama dalam
menghasilkan produk dan layanan kreatif yang inovatif dan unik.
4.
Keanekaragaman Budaya
Budaya
lokal, tradisi, dan seni menjadi sumber inspirasi yang melimpah bagi
pengembangan ekonomi kreatif. Budaya yang unik dan beragam di Kabupaten Bandung
menciptakan peluang untuk mengembangkan produk dan layanan kreatif yang
mencerminkan identitas lokal serta menarik minat pasar yang luas.
Menurut Salsabila, dkk. (2023)
kelemahan yang dapat menghambat perkembangan dari Kota Bandung diantaranya:
1.
Kurangnya dukungan kebijakan
Meski
Kota Bandung memiliki potensi dalam sektor ekonomi kreatif, masih terdapat
kelemahan dalam dukungan kebijakan yang perlu guna mengembangkan sektor ini
secara lebih optimal.
2.
Keterbatasan sumber daya manusia
Meskipun
kreativitas di Kota Bandung cukup tinggi, masih terdapat keterbatasan dalam
ketersediaan sumber data manusia yang memiliki keterampilan kreatif dan teknis
yang diperlukan dalam sektor ekonomi kreatif.
Dari beberapa pembahasan
di atas dapat dikatakan bahwa Kota Bandung telah mengalami transformasi
multidimensional sejak ditetapkannya sebagai ibukota kabupaten pada tahun 1810.
Pada awalnya dirancang sebagai garden city kolonial dengan tata ruang
bergaya Eropa, perkembangan dari kota ini dipicu oleh tiga momentum yang
kritis, yang diantaranya adalah pembangunan Grote Postweg pada era
Daendels yang mengintegrasikan Bandung dalam jaringan urban Jawa, relokasi
pusat kota pasca-Bandung Lautan Api (1946) yang menggeser poros aktivitas ke
utara, dan kebangkitan ekonomi kreatif pasca-2000an yang merevitalisasi warisan
kolonial contohnya Kawasan Braga.
Dengan demikian, Bandung
bukan hanya studi kasus urbanisasi Indonesia, namun merupakan bentuk dari
laboratorium hidup yang membuktikan ketahanan kota melalui adaptasi lintas
zaman.